The 2nd International Conference On Law and Human Rights Hasilkan Lima Rumusan Penting

WhatsApp Image 2021 05 06 at 16.21.39 

Kepala Kanwil Kemenkumham NTT, Marciana Dominika Jone menghadiri penutupan The 2nd International Conference On Law and Human Rights “Restructuring Law and Human Rights in New-Normal Society” secara virtual dari Ruang Multi Fungsi, Kamis (06/05/2021) sore. Penutupan ditandai dengan penyerahan rumusan hasil konferensi oleh Kepala Balitbangkumham, Sri Puguh Budi Utami kepada Wakil Menteri Hukum dan HAM RI, Eddy O.S Hiariej. Sedikitnya ada lima rumusan hasil konferensi yang diidentifikasikan sebagai permasalahan, peluang, serta tantangan dalam melakukan restrukturisasi hukum dan HAM di masa mendatang.

WhatsApp Image 2021 05 06 at 16.21.39 1

“Rumusan pertama, hukum, kreasi dan pembangunan ekonomi yang inklusif. Pandemi Covid-19 menyampaikan kepada kita bahwa terdapat urgensi sekaligus potensi pemanfaatan teknologi digital dalam melakukan surveilans penyakit berbasis data sebagai bagian penting dari sistem kesehatan digital,” ujar Sri Puguh Budi Utami.

Menurutnya, hal ini patut didukung oleh pemanfaatan ciptaan yang dilindungi dalam rezim kekayaan intelektual. Rumusan kedua, lanjut Sri Puguh, terkait penegakan, pendidikan, dan pemberdayaan hukum. Pemerintah dikatakan perlu melakukan penyesuaian, baik secara regulasi maupun teknis agar masyarakat dapat memperoleh akses dan perlakuan yang sama untuk mendapatkan keadilan meskipun pada saat pandemi.

“Kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum selama pandemi Covid-19 sangat penting dan berpengaruh terhadap keberhasilan pemerintah mengatasi situasi ini,” imbuhnya.

Sri Puguh menambahkan, rumusan ketiga terkait hukum, sistem kesehatan dan jaminan sosial. Ekosistem pelayanan kesehatan yang terbuka, berkualitas dan terjangkau diperlukan guna mendukung pembangunan ekonomi. Begitu pula dalam proses pembuatan peraturan di sektor kesehatan, negara tidak lagi hanya berfokus pada satu aktor atau bentuk interaksi. Namun mampu menangkap gambaran besar dari keseluruhan ekosistem pelayanan kesehatan termasuk agensi di dalamnya.

“Dan yang paling penting adalah bukan hanya peraturan perundang-undangan yang mampu menciptakan ekosistem layanan kesehatan, namun juga memastikan keberlanjutannya,” jelasnya.

Rumusan keempat menyangkut hukum, kultur dan pluralisme identitas. Sri Puguh menjelaskan, setidaknya ada tiga aspek yang terdampak krisis Covid-19 yaitu interlegalitas, performativitas hukum, dan HAM dalam konteks. Rumusan kelima yakni keadilan ekologi dan hak atas lingkungan. Dikatakan, pandemi mengisyaratkan hubungan antara krisis atas kesehatan dengan krisis atas kerusakan lingkungan yang memperburuk kehidupan masyarakat marjinal.

“Dampak ekonomi dan sosial dari kedua krisis tersebut melestarikan ketidaksetaraan yang ada saat ini dan menghambat ketahanan di tingkat lokal, nasional, hingga global. Secara praktis, komunitas global memerlukan kerjasama dan solidaritas di tingkat internasional, baik melalui mekanisme bilateral maupun multilateral,” terangnya.

Selama digelar empat hari sejak 3 Mei 2021 lalu, kata Sri Puguh, konferensi ilmiah internasional telah menarik lebih dari 20.000 pendaftar, baik secara tatap muka maupun virtual. Hasil konferensi berupa rekomendasi yang krusial akan diteruskan kepada instansi terkait sebagai bahan usulan perumusan kebijakan. Pihaknya juga akan melakukan sosialisasi hasil konferensi melalui kegiatan Obrolan Peneliti (OPini). Kemudian, topik strategis dan prioritas akan dijadikan sebagai bahan kajian penelitian untuk tahun 2022.

“Beberapa makalah yang telah dipresentasikan akan kami publikasikan pada jurnal internasional dalam bentuk prosiding tanpa biaya atau free of charge,” tandasnya.

WhatsApp Image 2021 05 06 at 16.21.38

Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM RI, Eddy O.S Hiariej mengatakan, konferensi ilmiah internasional tidak hanya menjadi ajang untuk mempresentasikan hasil penelitian. Tapi juga untuk memahami dan membangun pemahaman bersama tentang bagaimana hukum bekerja lintas konteks, secara spasial dan temporal, terutama di masa pandemi Covid-19.

“Pertama, pesan paling penting yang harus kita pertimbangkan dan pikirkan kembali karena pandemi adalah keadilan dan ketidaksetaraan. Pada titik ini, kita berbicara tentang sekelompok orang dengan dampak paling parah yang disebabkan oleh virus itu sendiri dan tindakan apa pun yang diambil selama pandemi,” ujarnya.

WhatsApp Image 2021 05 06 at 16.21.40 1

Dalam pengertian ini, lanjut Eddy Hiariej, sistem pelayanan kesehatan harus difasilitasi oleh kerangka hukum yang kuat untuk memberi kesetaraan dan melindungi kelompok rentan. Pengaturan tidak hanya berkonsentrasi pada pemerataan, tetapi juga untuk mengatasi masalah ketimpangan di seluruh dunia. Disisi lain, gagasan tentang restrukturisasi hukum dan HAM merupakan proses yang terus berkembang dan berkelanjutan dengan begitu banyak pertanyaan terbuka. (Humas/rin)

WhatsApp Image 2021 05 06 at 16.21.40


Cetak   E-mail