Kupang - Kepala Kanwil Kemenkumham NTT, Marciana Dominika Jone menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan Sosialisasi Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), Selasa (27/8/2024). Kegiatan yang berlangsung di JKI House of Miracle Church Kupang ini diselenggarakan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTT.
Marciana mengatakan, penanganan ABH diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). ABH mencakup anak sebagai saksi, anak sebagai korban, dan anak sebagai pelaku tindak pidana. Namun selama ini, penanganan ABH lebih banyak fokus pada anak sebagai pelaku dan cenderung mengabaikan anak sebagai korban dan anak sebagai saksi.
“Semua pihak termasuk pemerintah daerah harus menghormati, menghargai, dan menjamin hak-hak anak tanpa membeda-bedakan atau diskriminatif sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Tidak terkecuali dalam penanganan ABH,” ujarnya.
Itu sebabnya, lanjut Marciana, pihaknya terus mendorong Kabupaten/Kota Layak Anak dan Desa Layak Anak agar pemerintah daerah dapat mengintervensi dengan baik masalah kekerasan terhadap anak. Baik melalui kebijakan, pengalokasian anggaran, maupun pelayanan yang maksimal. Penanganan ABH juga harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu melibatkan Pekerja Sosial (Peksos), Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas, dan Penasihat Hukum.
“Sinergitas ini harus sudah terbangun sejak awal ketika anak berhadapan dengan hukum. Oleh karena itu, ABH harus menjadi perhatian serius pemerintah,” jelasnya.
Menurut Marciana, pemerintah menjadi garda terdepan untuk menyiapkan layanan yang ramah terhadap anak. Salah satunya dengan menyediakan rumah aman bagi ABH, khususnya yang menjadi korban tindak pidana seperti trafficking dan pemerkosaan. Termasuk melakukan pengumpulan data kasus kekerasan terhadap anak, serta menyediakan pelayanan visum et repertum dan pengobatan dengan baik.
“Kami bertugas mendorong kebijakan yang memberikan rasa keadilan dengan konsep perlindungan yang utuh bagi anak NTT,” imbuhnya.
Marciana menambahkan, SPPA memang ditujukan untuk membangun sistem peradilan yang adil dan ramah terhadap anak dengan berlandaskan hak anak, serta menerapkan prinsip keadilan restoratif melalui diversi. Namun perlu diingat bahwa diversi atau pengalihan penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, tidak diterapkan pada semua tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
“Tidak ada ruang diversi untuk kasus pemerkosaan, pelecehan seksual, dan ancaman hukuman diatas 5 tahun, termasuk residivis anak. Jangan mudah memberikan diversi kalau penanganan ABH tidak dilakukan secara komprehensif dan terpadu melibatkan berbagai pihak terkait,” tandasnya. (Humas/rin)