Kupang - Badan Strategi Kebijakan Hukum dan HAM (BSK Kumham) menggelar kegiatan Diskusi Publik Naskah Prakebijakan Kajian “Evaluasi Implementasi Kebijakan Kartu Perjalanan Pebisnis Asia Pacific Economic Cooperation (KPP APEC) di Indonesia” melalui zoom meeting, Senin (27/5/2024). Kegiatan ini turut diikuti secara virtual oleh jajaran Divisi Keimigrasian serta Bidang HAM Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kanwil Kemenkumham NTT.
Kepala Pusat Strategi Kebijakan Pembentukan dan Penegakan Hukum dan HAM, Jamaruli Manihuruk berharap kegiatan diskusi publik dapat memberikan manfaat sekaligus masukan untuk memperkaya kajian yang dilakukan BSK Kumham. Mengingat, hasil kajian akan digunakan sebagai masukan untuk penyusunan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI (Permenkumham) tentang KPP APEC.
Pranata Penata Ilmiah Ahli Madya BSK Kumham, Fitriyani yang memandu jalannya diskusi mengatakan, BSK Kumham telah membentuk tim untuk melakukan kajian terkait adanya usulan perubahan Permenkumham Nomor 26 Tahun 2016 tentang KPP APEC.
“Beberapa tahapan telah kami lakukan sebelumnya seperti FGD (Focus Group Discussion), serta pengumpulan data lapangan di 3 lokasi yakni Provinsi Bali, Provinsi Kepulauan Riau khususnya di Kota Batam, dan Provinsi DKI Jakarta,” ujarnya.
Pada tahapan diskusi publik kali ini, lanjut Yani, pihaknya tidak hanya mengundang jajaran Kantor Imigrasi Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) pada 3 provinsi yang menjadi lokus kajian. Tapi seluruh Kantor Imigrasi TPI turut dilibatkan, termasuk 16 Kantor Wilayah Kemenkumham, Direktorat Jenderal Imigrasi yang menginisiasi penyusunan Permenkumham, serta pihak eksternal seperti perwakilan Sekretariat Kabinet RI, Kementerian Koperasi dan UKM RI, Kementerian Perdagangan RI, dan APINDO.
Selain itu, diskusi publik menghadirkan Dosen Departemen Administrasi Publik Universitas Brawijaya, Fadilah Putra sebagai narasumber untuk memberikan review atas draf laporan hasil kajian yang sudah disusun.
Ketua Tim Kajian, Citra Krisnawaty selanjutnya memaparkan hasil dan pembahasan kajian yang sudah dilakukan. Termasuk mengenai latar belakang, tujuan, metode evaluasi, dan rekomendasi dari Tim Kajian. Dikatakan, Permenkumham No.26 Tahun 2026 dinilai perlu penyesuaian dengan kondisi saat ini menyangkut persyaratan permohonan, kualifikasi subyek yang dapat mengajukan, alur permohonan, dan pemberian kemudahan keimigrasian di TPI.
“Penyesuaian juga perlu dilakukan untuk mempertegas KPP APEC berupa visa kunjungan dan harus dalam rangka bisnis dan/atau wisata, serta menghapus ketentuan mengenai penggantian karena hilang/rusak karena KPP saat ini berbentuk virtual,” ujarnya.
Menurut Citra, Tim Kajian telah menyepakati sejumlah rekomendasi berdasarkan hasil evaluasi dari implementasi kebijakan di lapangan. Diantaranya, mencabut Permenkumham No.26 Tahun 2016. Kemudian untuk rancangan Permenkumham tentang KPP APEC perlu memperhatikan aspek-aspek tiap tahap alur permohonan. Ditjen Imigrasi selaku inisiator juga perlu merumuskan subyek hukum dan persyaratan dokumen dalam mengajukan KPP APEC. Tim Kajian merekomendasikan pula mengenai perlunya mengembangkan platform aplikasi online yang user friendly, serta menyusun SOP sebagai pedoman dan landasan hukum untuk mengantisipasi situasi atau keadaan tidak terduga sekaligus menjadi acuan melaksanakan pekerjaan.
“Untuk memastikan pengguna layanan mendapat pengalaman yang seragam dalam mengurus KPP APEC, perlu ditetapkan SOP Alur Permohonan KPP APEC yang menjabarkan proses atau tahapan pengerjaan KPP APEC, waktu yang dibutuhkan dan biaya yang dikeluarkan,” paparnya.
Citra menambahkan, perumusan rancangan Permenkumham juga perlu memunculkan tahap pemeriksaan lanjutan, serta pemblokiran pelayanan KPP APEC dan memasukkan pemohon yang melakukan kecurangan dokumen ke dalam daftar hitam (blacklist) untuk memastikan bahwa KPP APEC hanya dapat dimiliki oleh pebisnis yang mematuhi aturan. Pada tahap perlintasan keluar/masuk di TPI, perlu dipastikan adanya konter khusus bagi pemegang KPP APEC sehingga tidak bercampur dengan pemegang visa lain/kru. (Humas/rin)